Sosok Ibu Kartini & Emansipasi Wanita
Dr. Tri Budhi SastrioDi sini ada banyak pemudi reinkarnasi pendekar putri pujaan hati milik negeri kami ini.
Badan memang pernah terikat, sanubari pun ikut terjerat, tetapi jiwamu wahai Kartini
Terbang tinggi melintas bumi melanglang langit tinggi menggetarkan hati para priyayi.
Engkau memang suar benderang pada masamu yang tak hanya sigap buka onak duri
Dan memancarkan sinar bagi kaummu, bagi putri-putri kebanggaan kadipaten negeri
Kalau tidak karena jasamu mungkin di depan kami tak akan pernah tegak tegar berdiri
Putri-putri jelita pujaan hati seperti Eva Yuniarti, Renata Noviani dan Komang Safitri.
Mereka semua adalah ‘bukti’ begitu mungkin engkau akan berteriak wahai Ibu Kartini
Bukti bagi dunia, bukti bagi negeri ini, bukti bahwa apa yang telah engkau rintis sendiri
Di jalan penuh onak duri pada akhirnya memang memberi makna, memang memberi arti!
Merdeka negeriku, merdeka putriku; merdeka tanah ini, merdeka pula engkau kaum putri!
Taufik dan Budhi hanyalah dua lelaki yang tersenyum geli tetapi dengan hati riang berseri
Mengiringi para putri pujaan negeri ini melenggang ke sana ke mari bernyanyi dan menari
Melontarkan gagasan, menebarkan buah pikiran, mengajak kami semua untuk berdiskusi
Sambil mengenang kembali makna dan arti pejuanganmu wahai Sang Putri Pemberani.
Pernah di suatu masa ketika goresan pena yang kau layangkan ke negeri nun jauh di sana,
Memancing decak kagum pada semua pesona yang kau taburkan dari balik kaki bukit Muria,
Sang ayahanda tercinta, meskipun pada akhirnya nanti memang terbukti juga tak berdaya,
Tetap kentara sejak semula adalah pemrakarsa dan juga pendukung yang amat sangat setia
Pada semua olah jiwa kembaramu wahai putri jelita pantai utara pujaan bangsa nusantara.
Engkau harus melangkah, wanita tanah ini harus berani tengadah mengangkat dada kepala,
Begitu beliau berkata berulang-ulang tak hanya di istana kadipaten yang remang nuansa
Tetapi juga di pasar-pasar, di jalan-jalan, … pokoknya engkau terus maju membela wanita
Gedung ini tak boleh menjadi pengekang kebebasan, apalagi kebebasanmu wahai jelita
Kepakkan sayapmu, terbang tinggi putriku, engkau adalah masa depan bangsa nusantara
Dan juga masa depan tanah tercinta, masa depan negeri pujaan, masa depan ini bangsa.
Jauh di sana, Haumia, Kanaloa, Tane Mahuta, Tangaroa, Bellona, Bona Dea, Rhea Silvia,
Dan bahkan juga Roma, adalah para dewa yang pernah dikagumi dan banyak dipuja-puja
Mereka bebas bicara apa saja, karena mereka memang pemilik dunia dan alam semesta.
Lainnya, Pon, Rhianon, Hyperion, Deukalion, Amphion, Sarpedon, Lakedaemon, juga dewa,
Bersama-sama dengan Poseidon bukan saja disembah tetapi juga di puja-puja di sana!
Mereka bebas berkata apa saja, karena mereka memang yang empunya alam semesta!
Tetapi di sini kami tak punya banyak yang seperti engkau wahai pada dewa yang mulia,
Di tanah ini bahkan pernah ada masanya wanita tak diberi dan punya hak untuk bicara
Tetapi lihatlah mereka sekarang dunia, mereka lantang bicara berapi-api di mana-mana
Mereka adalah empunya dunia, merekalah sebenarnya pemilik dunia dan alam semesta!
Perjalanan memang masih panjang tetapi untuk sementara tuntas juga satu tugas juang!
Kaum wanita telah bebas untuk berbicara, wanita telah bebas untuk melenggang tenang
Membela yang benar menegakkan keadilan, menyuarakan ilmu pengetahuan dalam ruang
Tidak lagi merupakan impian karena sepanjang jalan panjang yang merentang-rentang,
Sonata dari kaki bukit gunung Muria terus dilagukan tak berkesudahan garang dan lantang
Ibarat tembang yang siang malam terus menerus dilantunkan lewat gemercik nada riang
Diiringi riak ombak bunyi gamelan yang dulu pernah hanya sayup didengar lalu menghilang.
Sekarang pancaran alunan nada penuh keharmonisan terus mendayu tak hilang-hilang
Jika ini bukannya suatu keajaiban maka tentulah segantang harapan berhasil didulang
Lalu semuanya kembang tak hanya guna mewartakan semerbak harumnya padang ilalang
Tetapi juga semua bunga yang pernah hanya bisa mekar dalam sempitnya ruang-ruang,
Sekarang tengadah tegak memamerkan semua keindahan sambil berbisik berulang-ulang
Jaman dan masanya telah datang, semua yang pernah hanya menjadi hiasan di belakang
Boleh berdiri tegak dan sedikit nampang di barisan paling depan sambil berseru lantang
Inilah kaummu wahai Kartini sang pejuang penanda bahwa habis gelap terbitlah terang.
Badan memang pernah terikat, sanubari pun ikut terjerat, tetapi jiwamu wahai Kartini
Terbang tinggi melintas bumi melanglang langit tinggi menggetarkan hati para priyayi.
Engkau memang suar benderang pada masamu yang tak hanya sigap buka onak duri
Dan memancarkan sinar bagi kaummu, bagi putri-putri kebanggaan kadipaten negeri
Kalau tidak karena jasamu mungkin di depan kami tak akan pernah tegak tegar berdiri
Putri-putri jelita pujaan hati seperti Eva Yuniarti, Renata Noviani dan Komang Safitri.
Mereka semua adalah ‘bukti’ begitu mungkin engkau akan berteriak wahai Ibu Kartini
Bukti bagi dunia, bukti bagi negeri ini, bukti bahwa apa yang telah engkau rintis sendiri
Di jalan penuh onak duri pada akhirnya memang memberi makna, memang memberi arti!
Merdeka negeriku, merdeka putriku; merdeka tanah ini, merdeka pula engkau kaum putri!
Taufik dan Budhi hanyalah dua lelaki yang tersenyum geli tetapi dengan hati riang berseri
Mengiringi para putri pujaan negeri ini melenggang ke sana ke mari bernyanyi dan menari
Melontarkan gagasan, menebarkan buah pikiran, mengajak kami semua untuk berdiskusi
Sambil mengenang kembali makna dan arti pejuanganmu wahai Sang Putri Pemberani.
Pernah di suatu masa ketika goresan pena yang kau layangkan ke negeri nun jauh di sana,
Memancing decak kagum pada semua pesona yang kau taburkan dari balik kaki bukit Muria,
Sang ayahanda tercinta, meskipun pada akhirnya nanti memang terbukti juga tak berdaya,
Tetap kentara sejak semula adalah pemrakarsa dan juga pendukung yang amat sangat setia
Pada semua olah jiwa kembaramu wahai putri jelita pantai utara pujaan bangsa nusantara.
Engkau harus melangkah, wanita tanah ini harus berani tengadah mengangkat dada kepala,
Begitu beliau berkata berulang-ulang tak hanya di istana kadipaten yang remang nuansa
Tetapi juga di pasar-pasar, di jalan-jalan, … pokoknya engkau terus maju membela wanita
Gedung ini tak boleh menjadi pengekang kebebasan, apalagi kebebasanmu wahai jelita
Kepakkan sayapmu, terbang tinggi putriku, engkau adalah masa depan bangsa nusantara
Dan juga masa depan tanah tercinta, masa depan negeri pujaan, masa depan ini bangsa.
Jauh di sana, Haumia, Kanaloa, Tane Mahuta, Tangaroa, Bellona, Bona Dea, Rhea Silvia,
Dan bahkan juga Roma, adalah para dewa yang pernah dikagumi dan banyak dipuja-puja
Mereka bebas bicara apa saja, karena mereka memang pemilik dunia dan alam semesta.
Lainnya, Pon, Rhianon, Hyperion, Deukalion, Amphion, Sarpedon, Lakedaemon, juga dewa,
Bersama-sama dengan Poseidon bukan saja disembah tetapi juga di puja-puja di sana!
Mereka bebas berkata apa saja, karena mereka memang yang empunya alam semesta!
Tetapi di sini kami tak punya banyak yang seperti engkau wahai pada dewa yang mulia,
Di tanah ini bahkan pernah ada masanya wanita tak diberi dan punya hak untuk bicara
Tetapi lihatlah mereka sekarang dunia, mereka lantang bicara berapi-api di mana-mana
Mereka adalah empunya dunia, merekalah sebenarnya pemilik dunia dan alam semesta!
Perjalanan memang masih panjang tetapi untuk sementara tuntas juga satu tugas juang!
Kaum wanita telah bebas untuk berbicara, wanita telah bebas untuk melenggang tenang
Membela yang benar menegakkan keadilan, menyuarakan ilmu pengetahuan dalam ruang
Tidak lagi merupakan impian karena sepanjang jalan panjang yang merentang-rentang,
Sonata dari kaki bukit gunung Muria terus dilagukan tak berkesudahan garang dan lantang
Ibarat tembang yang siang malam terus menerus dilantunkan lewat gemercik nada riang
Diiringi riak ombak bunyi gamelan yang dulu pernah hanya sayup didengar lalu menghilang.
Sekarang pancaran alunan nada penuh keharmonisan terus mendayu tak hilang-hilang
Jika ini bukannya suatu keajaiban maka tentulah segantang harapan berhasil didulang
Lalu semuanya kembang tak hanya guna mewartakan semerbak harumnya padang ilalang
Tetapi juga semua bunga yang pernah hanya bisa mekar dalam sempitnya ruang-ruang,
Sekarang tengadah tegak memamerkan semua keindahan sambil berbisik berulang-ulang
Jaman dan masanya telah datang, semua yang pernah hanya menjadi hiasan di belakang
Boleh berdiri tegak dan sedikit nampang di barisan paling depan sambil berseru lantang
Inilah kaummu wahai Kartini sang pejuang penanda bahwa habis gelap terbitlah terang.
Tags : Guru
SIT GAMEEL AKHLAQ
GAMEEL AKHLAQ ISLAMIC SCHOOL
- " Cerdas " ( Selalu berprestasi )
- " Berkarakter " ( Akhlaq yang baik )
- " Qur'ani " (Cinta Qur'an )
- : SIT Gameel Akhlaq
- : Juli 2011
- : Rawalumbu-Kota Bekasi
- : [email protected]
- : +6285817664135